Aceh Barat Nasionaljurnais.com
Di saat gema doa dan harapan mengalun menyambut Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 H, kita justru menyaksikan babak baru dari konflik yang tak kunjung reda.
Bupati Aceh Barat, Tarmizi, dan PT Mifa Bersaudara kini berada dalam pusaran yang bukan hanya menciptakan jarak, tapi juga membelah harapan rakyat kecil yang merindukan kedamaian.
Dalam hidup, kita semua paham tidak semua harapan akan berjalan sesuai rencana. Ada saatnya kita dihadapkan pada kenyataan yang membuat emosi memuncak, logika terguncang, dan keputusan terambil dalam panasnya situasi. Tapi justru di saat seperti itulah, kepala dingin dan jiwa besar diuji.
Sebagai rakyat biasa, kami tidak membawa kepentingan. Kami tidak menyodorkan pembelaan, tidak pula menyalakan api keberpihakan. Yang kami bawa hanya satu suara suara damai.
Karena konflik ini yang awalnya tampak seperti ketegangan biasa, kini telah menjelma menjadi pertarungan terbuka yang memperkeruh ruang sosial dan mengguncang ekonomi lokal.
Bupati adalah simbol kewibawaan negara, pelindung semua warga tanpa kecuali. Sementara PT Mifa Bersaudara, suka atau tidak suka, telah menjadi bagian dari denyut nadi pembangunan dan penggerak roda ekonomi Aceh Barat. Tidak ada yang sempurna, tapi semua punya peran.
Kita bisa berdiskusi tentang tanggung jawab sosial, tentang dampak lingkungan, atau tentang transparansi dalam investasi. Semua itu penting. Tapi konflik yang menjurus pada pelaporan hukum, saling serang, dan tarik-menarik opini publik bukanlah jalan bijak. Apalagi jika itu menjadi langkah pertama, bukan pilihan terakhir.
Kita baru saja melewati 1 Muharram. Tahun baru yang seharusnya menjadi momentum muhasabah introspeksi bersama. Bahwa kehidupan, pemerintahan, dan investasi seharusnya tidak saling menjatuhkan, tapi saling menguatkan. Ego tidak pernah menyelesaikan masalah. Justru memperpanjang luka.
Masyarakat Aceh Barat tidak butuh drama kekuasaan. Mereka butuh kepastian hidup, pelayanan publik yang berjalan, dan suasana yang tenang untuk membangun masa depan. Maka kami menyerukan duduklah bersama. Kalau perlu, hadirkan pihak ketiga yang netral. Bicaralah dengan nurani, bukan sekadar strategi.
Berdamai lah dengan keadaan. Bukan berarti tunduk pada ketidakadilan, tapi sebagai langkah awal untuk menata ulang komunikasi dan hubungan yang telah retak. Karena pada akhirnya, bukan jabatan atau saham yang akan paling menderita. Tapi rakyat kecil yang setiap pagi berjuang untuk sesuap nasi dan masa depan anak-anak mereka.
Ingatlah, kebesaran bukan diukur dari kerasnya suara, tetapi dari kemampuan menundukkan ego demi kemaslahatan bersama. Dan semoga di tahun baru ini, kita semua bisa benar-benar memulai sesuatu yang baru yaitu Kedamaian.