BANTEN  

Membangun Karakter Generasi Muda Indonesia Yang Merdeka Dalam Bingkai Etika, Moral & Akhlak Yang Mulia

Oleh Jacob Ereste : Banten Nasionaljurnalis.com

Pemikiran Bunda Wati Salam tentang perlunya mempersiapkan generasi yang qur’ani, supaya lahir pemimpin yang betul-betul Islami sungguh sangat ideal adanya. Memang umat Islam di Indonesia merupakan yang terbesar jumlahnya. Tapi apakah kuantitas itu seiring dengan kualitas yang bisa ditunjukkan oleh hasil kerja serta dampaknya yang terbilang besar, seperti diungkapkan Bunda Jatiningsih, yang seharusnya menjadi leader bagi Perempuan Indonesia yang seharusnya dapat berperan lebih banyak untuk membangun bangsa dan negara lebih baik dan lebih beradab yang sejahtera serta adil untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa yang telah berhasil membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia lepas dari belenggu penjajah.

Setidaknya dari catatan penting proklamasi kemerdekaan pada 80 tahun silam itu, utamanya menjanjikan kepada seluruh rakyat terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Tetapi realitasnya kemiskinan justru terkesan dipelihara untuk membuat ketergantungan rakyat kepada pemerintah yang memanjakan rakyat menerima bantuan langsung tunai atau dalam bentuk bahan pangan. Idealnya pemerintah harus menyediakan lapangan kerja, memberi kemudahan usaha, membantu petani dan nelayan dalam bentuk peralatan kerja, atau bibit dan pangan ternak peliharaan yang murah dan gampang diperoleh seperti pupuk yang selalu dikeluhkan para petani.

Dengan jug dengan hasil panen mereka, mulai dari padi hingga kacang kedelai dan kopi, nasibnya persis seperti yang dialami hasil tangkapan nelayan yang lebih dominan memperkaya para tengkorak dan rentenir. Karena koperasi petani dan koperasi nelayan hingga koperasi pengusaha kecil menengah seperti kerajinan dan siluman dan ancaman produk rumahan tidak mendapat perlindungan dan pembinaan afar dapat maju dan bertumbuh hingga terus berkembang sampai menjadi satu bidang usaha yang mandiri dengan memberdayakan sumber daya warga masyarakat kecil.

Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, jumlah dominan umat Islam menjadi sangat relevan dipertanyakan. Persis seperti dalam arena politik, tidak ada satu pun partai politik yang mengklaim atas nama Islam sekarang ini yang ditunjuk menjadi kebanggaan, apalagi hendak diharap mampu berbuat banyak bagi kemaslahatan umat.

Padahal, harapan sati-satunya generasi muda Islam dapat berlimpah dan berperan besar dalam perjuangan politik bagi umat Islam ibarat jauhnya panggang dari api.

Sebab salah satu cara terbaik untuk melahirkan generasi muda Islam yang tangguh dan berperan besar melakukan perubahan di negeri ini adalah melalui habitat politik. Karena kebijakan dan keputusan penting yang terkait dengan kemaslahatan umat berada pada wilayah politik. Laku adakah institusi pendidikan politik di negeri ini yang mumpung dengan warna dominan keagamaan yang khas dan cerdas ?

Boleh jadi kalimat Mustika Sani yang ikut ngompori tajuk bintang soal generasi Qur’ani ini benar adanya adanya kematian orang Islam ajan menjadi pemimpin di Indonesia, namun tetap dia ragukan sebagai sosok pemimpin yang Qur’ani. Artinya, bisa saja label formalnya adalah tokoh Islam yang menjadi pemimpin itu, namun tetap saja tidak mencerminkan adanya muatan Islam di dalam kebijakan kepemimpinannya yang selayaknya dapat dirasakan dan dinikmati oleh warga masyarakat.

Itulah sebabnya, gerakan Islam profetik — yang tidak formalistik, namun membumikan ajaran dan tuntunan Nabi — sudah digaungkan sejak tahun 1980-an bersama tokoh sastra pluralis Dr. Kuntowijoyo. Toh, sampai hari ini, pandangan umat kebanyakan tetap tidak berpaling dari tampilan formalistik bahkan cenderung menilai sesama Islam sendiri dengan suara dan nada yang nyinyir dan ceriwis.

Pilihan jalan spiritual yang lebih bersifat universal — karena tak perlu rikuh dengan umat beragama yang lain, bahkan mampu membangun kesepakatan tentang etika, moral dan akhlak sebagai basis utama spiritual yang bisa dilakukan oleh semua umat beragama apapun — menjadi pilihan terbaik dan terunggul yang kini semakin membumi tak hanya di negeri ini.

Karena itu, dalam waktu dekat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang digagas Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama sejumlah tokoh dan pemuka agama sejak 30 tahun silam kini terus dia lakukan sebagai motor penggeraknya — akan safari keliling ke berbagai negara untuk ikut menggerakkan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang pasti berbasis pada etika, moral dan akhlak sebagai tiang penyangga konstruksi spiritual yang ideal dan kuat.

Jadi, untuk mempersiapkan generasi Qur’ani itu harus jelas rumusannya, bagaimana melakukannya, dan siapa yang siap dan bersedia untuk menggerakkannya. Toh, pada sejumlah tempat para kiyai hingga ustad yang mumpuni belum pernah pernah terdengar menyediakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang bisa disebut khas qurani, seperti yang dimaksud Wati Salam, Jatiningsih maupun Mustika Sani. Dan bila saja diantaranya hendak berperan dan menjadi perintis utamanya, tentu sebagai penulis yang sudah memipikannya sejak 45 tahun silam — ketika masih sangat remaja — siap untuk menghibahkan diri atau mewakafkan segenap jiwa dan raga yang mungkin setara heroiknya dengan pekik kemerdekaan saat diproklamirkan 80 tahun silam itu.

Yang pasti, paparan ini sangat diharap bisa menjadi bahan permenungan saat peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia — 17 Agustus 2025 — dengan gumaman: sungguhkah kita sekarang masih menikmati suasana kemerdekaan !

Banten, 6 Agustus 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *