SWI: Pemerintah Jangan Bangun Monopoli Organisasi Wartawan
JAKARTA Nasionaljurnalis.com
Pernyataan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid yang menyebut pemerintah daerah “wajib bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)” menuai kritik tajam dari berbagai kalangan pers nasional.
Pernyataan tersebut dinilai menyalahi asas kebebasan pers dan berpotensi menciptakan dikotomi antarorganisasi profesi wartawan di Indonesia.
Diksi “Wajib” Dinilai Menyulut Polemik
Pelaksana Tugas Ketua Umum Sekber Wartawan Indonesia (SWI), Ir. Herry Budiman, menilai penggunaan diksi “wajib” oleh Menteri Komdigi berpotensi menunjukkan intervensi pemerintah terhadap kemerdekaan organisasi pers.
“Diksi ‘wajib’ itu bersifat memerintah. Masa pemerintah justru membangun dikotomi di antara organisasi profesi wartawan? Ini berbahaya bagi demokrasi pers,” tegas Herry, yang juga Sekjen SWI.
Menurutnya, pemerintah semestinya berperan sebagai fasilitator, bukan regulator yang mengarahkan kerja sama hanya pada satu organisasi tertentu.
Langgar Hak Berserikat dan Kebebasan Berorganisasi
Secara konstitusional, hak kebebasan pers dan berorganisasi dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta berserikat secara bebas.
Dengan demikian, arahan bersifat “wajib” kepada Pemda untuk hanya bekerja sama dengan satu organisasi wartawan dapat dianggap bertentangan dengan prinsip non-diskriminatif.
“Negara tidak boleh memonopoli pembinaan atau akses kerja sama hanya kepada satu wadah profesi. Itu bisa menciptakan diskriminasi terhadap organisasi pers lain seperti AJI, IJTI, SMSI, atau SWI,” ujar Kostaman, S.H., Pimpinan Redaksi Berita Top Line yang juga praktisi hukum.
Kritik dari Akademisi dan Tokoh Pers
Imam Suwandi, S.Sos., M.I.Kom., Kabid Diklat & Litbang DPP SWI, menilai kebijakan semacam itu justru dapat menciptakan “gap” antarorganisasi wartawan.
“Ada organisasi pers yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Jika pernyataan seperti ini dibiarkan, maka akan muncul persepsi bahwa hanya satu organisasi yang diakui pemerintah. Ini berbahaya bagi kebebasan pers,” ujarnya.
Imam juga mendorong Dewan Pers agar bersikap tegas dan memberikan klarifikasi terhadap pernyataan Komdigi agar tidak menimbulkan multitafsir di lapangan.
Pendiri SWI: Potensi Tipikor dan Pelanggaran Etika Publik
Kritik keras juga datang dari Maryoko Aiko, pendiri SWI. Ia menilai pernyataan Menteri Komdigi tersebut “ugal-ugalan” dan berpotensi menimbulkan implikasi hukum.
“Sebagai pejabat publik, seorang menteri harus memahami batas kewenangan. Jika Pemda diarahkan ‘wajib’ menjalin kerja sama hanya dengan PWI, maka bisa timbul potensi penyalahgunaan wewenang atau indikasi Tipikor karena mengarahkan anggaran hanya ke satu pihak,” tegas Maryoko.
Menurutnya, kerja sama dengan organisasi wartawan adalah hal sah, tetapi pemerintah harus netral dan membuka ruang bagi semua organisasi yang memiliki legalitas jelas, baik konstituen Dewan Pers maupun non-konstituen yang sah secara hukum.
Pemerintah Harus Jadi Penjamin, Bukan Pengarah
Para tokoh pers menegaskan bahwa tugas pemerintah bukan menentukan siapa yang layak diajak bekerja sama, melainkan menjamin kebebasan pers tetap tegak sesuai amanat undang-undang.
“Pers itu pilar demokrasi, bukan bawahan kekuasaan. Pemerintah seharusnya mendorong kolaborasi lintas organisasi, bukan menutup ruang bagi yang lain,” kata Kostaman.
Ia menambahkan, pembinaan pers tidak boleh eksklusif karena kemerdekaan pers merupakan hak publik yang dijamin negara, bukan hak istimewa organisasi tertentu.
Penguatan Kedaulatan Pers Nasional
Dalam pernyataan sikapnya, SWI menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan pers nasional dengan prinsip profesionalisme, akurasi, dan verifikasi — bukan monopoli atau sentralisasi organisasi.
“Kerja sama boleh, tapi bukan dalam bentuk kewajiban tunggal. Pers harus berdiri sejajar dengan pemerintah, bukan di bawahnya,” tutup Herry Budiman.
Langkah ini diharapkan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan pers adalah milik seluruh insan pers Indonesia, bukan milik satu organisasi. Pemerintah sebaiknya menjadi penjamin keberagaman, bukan penentu arah tunggal.
Penegasan Redaksi Berita Top Line
Redaksi Berita Top Line menilai bahwa narasi “wajib kerja sama dengan PWI” perlu segera diluruskan agar tidak menimbulkan preseden buruk dalam ekosistem pers nasional.
Kebijakan yang adil dan konstitusional harus berlandaskan pada:
UU Pers No. 40/1999
UUD 1945 Pasal 28F
UU HAM No. 39/1999
Hanya melalui kolaborasi lintas organisasi, Indonesia dapat mewujudkan pers yang bebas, berdaulat, dan berkeadilan — bukan pers yang tunduk pada kekuasaan.
#StatementMenkomdigi #CideraiInsanPers #SekberWartawanIndonesia
(Red/HUM SWI)*