MUBA Nasionaljurnalis.com
Aktivitas usaha ilegal di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) kian marak. Tak hanya pengeboran minyak tradisional yang terus bertambah, namun juga aktivitas penambangan pasir (galian C) yang semakin tak terkendali. Lemahnya penegakan hukum dituding menjadi penyebab utama kian menjamurnya berbagai bisnis haram tersebut.
Ironisnya, kegiatan ilegal itu kini dijalankan secara terang-terangan, seolah mendapat legitimasi hukum dengan berlindung di balik Peraturan Menteri ESDM Nomor 25. Regulasi tersebut sering disalahartikan oleh para pelaku usaha ilegal sebagai izin resmi dari pemerintah untuk mengelola sumber minyak bumi.
Padahal, Permen ESDM No. 25 sejatinya hanya mengatur tata kelola sumur minyak tua peninggalan Belanda, bukan memberi izin pembukaan sumur baru. Pengelolaannya pun harus dilakukan oleh badan hukum resmi, seperti koperasi atau BUMD, dan hasil produksinya wajib disalurkan ke Pertamina.
Namun di lapangan, muncul justru ratusan sumur baru ilegal serta kilang-kilang minyak ilegal (illegal refinery) yang mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar siap pakai. Akibatnya, aktivitas illegal drilling dan illegal refinery di Muba meningkat tajam.
Kawasan yang menjadi “lahan subur” bagi kegiatan ilegal itu tersebar di berbagai kecamatan, antara lain Keluang, Babat Supat, Tungkal Jaya, Bayung Lencir, Babat Toman, Plakat Tinggi, Lawang Wetan, Sungai Keruh, Sekayu, hingga Sanga Desa.
Menjamurnya kegiatan ilegal tersebut tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, tetapi juga telah menelan banyak korban jiwa akibat insiden kebakaran dan ledakan di lokasi pengeboran maupun kilang minyak liar.
Yang lebih memprihatinkan, meski kerap terjadi insiden fatal, aktivitas pengangkutan minyak ilegal justru semakin terbuka.
Jalan-jalan utama di Muba hampir setiap hari dipadati oleh truk bak tertutup, truk tangki, fuso, hingga tronton yang mengangkut minyak ke luar daerah — bahkan hingga ke Pulau Jawa.
Ironisnya, meski ribuan barel minyak keluar dari wilayah Muba setiap hari, tidak ada sepeser pun yang masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semua keuntungan justru mengalir ke kantong para pelaku ilegal dan oknum aparat penegak hukum yang diduga turut bermain, baik sebagai pengawal kendaraan maupun “petugas koordinasi”.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap kali terjadi insiden kebakaran pada aktivitas ilegal tersebut, tidak pernah ada pengusaha besar yang dijerat hukum. Penyelidikan kasus sering kali direkayasa dengan menunjuk “kambing hitam”, yakni pekerja lapangan yang disuruh mengaku sebagai pemilik usaha.
Salah seorang mantan pelaku illegal drilling, berinisial AD, mengakui bahwa menjalankan bisnis minyak ilegal di Muba sangat mudah selama ada “koordinasi” dengan pihak tertentu.
“Kuncinya koordinasi, Pak. Baik pengeboran, galian C, pengolahan (masakan), maupun angkutan minyak — kalau sudah koordinasi, InsyaAllah aman,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (14/10/2025).
Menurut AD, meski bisnis ini berisiko tinggi dan merugikan negara, sulit untuk diberantas karena melibatkan banyak pihak — dari pejabat, aparat penegak hukum, hingga masyarakat lokal.
“Uangnya sangat banyak, Pak. Mulai dari koordinasi per drum hasil pengeboran, fee tanah, sampai biaya angkutan. Siapa yang tidak tergoda?” katanya lagi.
Selain minyak, bisnis tambang pasir ilegal (galian C) juga tumbuh pesat di sepanjang Sungai Musi. Banyak lokasi penambangan yang diduga kuat belum mengantongi izin resmi, namun tetap beroperasi tanpa hambatan.
Kondisi ini menjadi bukti nyata bahwa penegakan hukum di Muba terkesan mandul, sementara praktik-praktik ilegal terus berlangsung dan menggerogoti sumber daya alam Kabupaten Musi Banyuasin.