AcehTamiang Nasionaljurnalis .com
Praktik pungutan terkait Bimbingan Teknis (Bimtek) pelatihan koperasi desa di Aceh Tamiang, dengan menarik biaya sebesar Rp 6.500.000 per orang dari setiap desa (melibatkan tiga orang, yaitu kepala desa, ketua koperasi Merah Putih, dan bendahara koperasi Merah Putih), jelas merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip tata kelola pemerintahan desa yang baik dan keadilan ekonomi.
Tindakan ini, yang mengakibatkan total anggaran sebesar Rp 1.378.000.000 terkumpul dari setiap desa di 212 desa di kecamatan Aceh Tamiang untuk membiayai acara di Medan, Sumatera Utara tanpa dasar hukum yang jelas, bukan hanya berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli), tetapi secara nyata merupakan perampasan hak masyarakat desa. Pungutan semacam ini tidak hanya merugikan keuangan desa dan mengkhianati kepercayaan masyarakat, tetapi juga merupakan bentuk penindasan ekonomi yang sistematis terhadap masyarakat kecil, menghambat pertumbuhan ekonomi desa, dan memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Praktik ini menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya desa, serta menimbulkan pertanyaan serius mengenai motif tersembunyi di balik pelaksanaan Bimtek tersebut, termasuk dugaan adanya praktik kolusi dan nepotisme yang melibatkan unsur-unsur pemerintahan desa dan pengurus koperasi.
Tidak adanya landasan hukum yang membenarkan penarikan biaya Bimtek pelatihan koperasi desa ini adalah bukti nyata ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Desa, Undang-Undang Perkoperasian, serta berbagai Peraturan Menteri Desa dan Keuangan secara tegas mengatur bahwa penggunaan dana desa harus transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Pungutan yang tidak sah dan tidak disepakati melalui musyawarah desa bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, tetapi juga merupakan bentuk pengabaian terhadap amanah yang diberikan oleh masyarakat, merusak tatanan demokrasi di tingkat desa, dan mengabaikan aspirasi warga.
Tindakan ini mencerminkan kurangnya pemahaman atau kesadaran akan pentingnya pengelolaan keuangan desa yang sesuai dengan ketentuan hukum, serta mengindikasikan adanya penyalahgunaan wewenang yang terstruktur dan sistematis untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu, dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan keterbatasan akses informasi masyarakat desa, serta memanfaatkan posisi strategis kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi.
Dampak dari praktik pungutan liar ini sangat merugikan dan meluas, tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang. Selain mengurangi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, tindakan ini juga menciptakan preseden buruk yang dapat mendorong praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tingkat desa, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan pihak ketiga seperti penyedia jasa pelatihan, konsultan, atau vendor lainnya.
Masyarakat menjadi korban karena hak mereka untuk menikmati hasil pembangunan desa dirampas secara paksa oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab, menghambat peningkatan kualitas hidup, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa. Pungutan ini tidak hanya membebani perangkat desa yang seharusnya fokus pada pelayanan publik, tetapi juga merusak citra pemerintahan desa di mata masyarakat, menciptakan ketidakpercayaan, menghancurkan harapan akan perubahan yang lebih baik, serta memicu konflik sosial dan polarisasi di masyarakat, serta merusak hubungan harmonis antara kepala desa, pengurus koperasi, dan anggota masyarakat.
Seorang peserta Bimtek yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelaksanaan pelatihan tersebut, yang semakin memperburuk citra kegiatan ini dan menambah daftar panjang kebobrokan tata kelola pemerintahan desa. “Beliau mengatakan, sebenarnya yang harus disiapkan dulu itu buku rekening koperasi Merah Putih. Seperti pengalaman saya dulu, pertama disuruh siapkan surat-surat pendirian koperasi desa Merah Putih, baru dicairkan anggaran desa. Itu kata pemerintah dulu,” ujarnya saat diwawancarai. Lebih lanjut, sumber tersebut menambahkan.
“Menurut saya, kalau belum disiap-siapkan rekening koperasi desa tersebut, sia-sia ikut Bimtek. Hanya menghabiskan anggaran desa saja.” Pernyataan ini bukan hanya mengindikasikan adanya permasalahan mendasar terkait kesiapan infrastruktur dan administrasi koperasi di tingkat desa, tetapi juga menunjukkan bahwa Bimtek ini hanyalah formalitas belaka, tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi pengembangan koperasi di desa, serta menjadi ajang pemborosan anggaran dan praktik korupsi terselubung yang melibatkan kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi.
Pernyataan dari peserta Bimtek tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme pemerintah daerah, dinas terkait, dan pihak penyelenggara pelatihan. Mengapa Bimtek tetap dilaksanakan meskipun rekening koperasi belum disiapkan? Apakah ada unsur kesengajaan untuk melakukan pemborosan anggaran yang melibatkan kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi? Apakah ada konflik kepentingan antara pihak penyelenggara dengan pejabat pemerintah daerah, serta kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi?
Hal ini menunjukkan adanya potensi korupsi yang lebih besar dan terstruktur, serta mengindikasikan bahwa Bimtek ini hanyalah alat untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat desa dan menghalangi upaya pengembangan koperasi yang sehat dan berkelanjutan, serta memanfaatkan posisi strategis kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi untuk melanggengkan praktik korupsi.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab moral dan hukum yang sangat besar untuk bertindak cepat, tegas, transparan, dan akuntabel dalam menangani kasus ini. Investigasi mendalam harus segera dilakukan untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat, termasuk dalang di balik pungutan tersebut, aliran dana yang digunakan, motif sebenarnya dari penyelenggaraan Bimtek ini, serta pihak-pihak yang menerima manfaat dari praktik korupsi ini, termasuk kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi. Dalam proses investigasi ini, penting untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terkait, termasuk kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi, untuk memberikan hak jawab dan menjelaskan perspektif mereka terkait tuduhan yang dilayangkan. Tindakan hukum yang tegas harus diberikan kepada pelaku pungutan liar sebagai bentuk efek jera dan untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat desa yang dirugikan, tanpa pandang bulu dan tanpa tebang pilih, serta memberikan sanksi yang setimpal kepada kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi yang terbukti terlibat dalam praktik korupsi.
Selain itu, perlu dilakukan audit investigasi terhadap pengelolaan keuangan desa terkait kegiatan Bimtek pelatihan koperasi ini untuk memastikan tidak ada penyimpangan lain yang terjadi, serta untuk mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pengawasan yang memungkinkan terjadinya praktik pungutan liar ini, serta untuk merekomendasikan perbaikan sistem dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan akuntabel, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan.
Kasus pungutan terkait Bimtek pelatihan koperasi desa ini adalah momentum krusial untuk melakukan reformasi total terhadap sistem pengawasan dan pengelolaan dana desa, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan media massa. Perlu adanya peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan dana desa, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempermudah akses informasi dan pelaporan, serta memberikan perlindungan kepada pelapor (whistleblower) yang berani mengungkap praktik korupsi. Sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan desa juga perlu ditingkatkan, dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat desa, serta melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat dalam sosialisasi.
Pemerintah daerah juga perlu membuka ruang dialog dan komunikasi dengan masyarakat, serta memberikan kesempatan kepada kepala desa, ketua koperasi, dan bendahara koperasi untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi terkait pengelolaan dana desa. Dengan demikian, diharapkan praktik-praktik koruptif dan penyalahgunaan wewenang dapat dicegah, dan dana desa dapat benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara berkelanjutan, serta mewujudkan keadilan ekonomi di tingkat desa. Lebih dari itu, kasus ini menuntut adanya tindakan nyata dari pemerintah daerah, khususnya Bupati Aceh Tamiang dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), untuk membuktikan keberpihakan mereka kepada masyarakat, dengan mengambil tindakan yang tegas, transparan, dan akuntabel, serta memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Apakah mereka akan menjadi bagian dari masalah, atau menjadi bagian dari solusi? Sikap yang diambil oleh pemerintah daerah akan menjadi penentu masa depan Aceh Tamiang, dan akan menjadi catatan sejarah yang akan dikenang oleh generasi mendatang, sebagai pemimpin yang berani membela kepentingan rakyat, atau sebagai pemimpin yang gagal mewujudkan amanah rakyat.
( Tem)

 
 
							











